Bolehkah Vaksin COVD-19 diberikan pada Anak dengan Epidermolisis Bulosa?

Dunia saat ini sedang mengalami pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu infeksi virus corona baru dikenal sebagai penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) yang telah menyebar ke sebagian besar dunia. Pandemi yang saat ini mewabah di seluruh dunia mempengaruhi kualitas hidup, bukan hanya pada orang sehat, tetapi pasien dengan penyakit kronis, seperti epidermolisis bulosa (EB) juga menghadapi tantangan khusus (1, 2).

Epidermolisis bulosa adalah kelainan genetik yang langka dan saat ini tidak dapat disembuhkan berupa kelainan lepuh dengan berbagai gambaran klinis, terutama bermanifestasi dengan kerapuhan kulit, erosi, dan/atau lepuh setelah trauma minimal. Empat jenis utama penyakit ini adalah EB simpleks, EB junctional, EB distrofik, dan sindrom Kindler.

Butterfly Children adalah sebutan untuk anak-anak yang menderita EB, dimana kondisi kulit penderita EB sangat rapuh ibarat sayap kupu-kupu. Kulit penderita EB mudah terluka atau melepuh akibat sentuhan maupun gesekan ringan sekalipun. Penderita EB sangat rentan terhadap infeksi akibat luka yang berlangsung seumur hidup. Pada beberapa kondisi, keadaannya dapat menyebabkan kanker kulit, kelainan bentuk organ tubuh, dan bahkan mutilasi atau hilangnya organ tubuh misalnya jari-jari tangan dan kaki.

Kualitas hidup penderita EB amat terganggu. Penderita EB mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas dan fungsi sehari-hari,  misalnya menyapu dapat menyebabkan telapak tangan melepuh akibat gesekan dengan tongkat sapu; kesulitan memegang sendok akibat hilangnya jari-jari tangan akibat perubahan bentuk tangan pasca luka berulang; bahkan seorang bayi EB dapat sangat kesakitan akibat kulitnya melepuh saat digendong dan dipeluk sang ibu. Dengan tidak adanya pengobatan yang pasti, terapi saat ini menekankan pencegahan trauma kulit, perawatan luka menggunakan dressing khusus dan pengelolaan infeksi dan komplikasi ekstrakutaneus (3,4).

Meskipun risiko COVID-19 pada pasien EB diperkirakan tidak lebih tinggi daripada populasi umum, kepatuhan ketat terhadap protokol kebersihan tangan yang direkomendasikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dapat terpengaruh oleh erosi dan lecet pada tangan dan/atau pseudosyndactyly pada pasien ini. Namun, perlu dicatat bahwa pasien dengan jenis EB yang lebih parah, karena komplikasi seperti anemia dan malnutrisi, mungkin memiliki risiko lebih besar untuk gejala yang lebih berat jika mereka bersentuhan dengan SARS-CoV-2 (5,6).

Selain social distancing dan karantina, menjaga kebersihan termasuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air dan/atau disinfeksi tangan menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol adalah salah satu langkah terpenting dalam mencegah penyebaran COVID-19 (6). Namun, sabun juga dapat menyebabkan iritasi dan menyebabkan kekeringan, atau rasa nyeri bila terkena luka terbuka pada aplikasi disinfektan berbasis alcohol (7,8). Hal ini menjadi tantangan terhadap kepatuhan protokol kebersihan tangan. Penting untuk diingat, mencuci tangan perlu terus dilakukan, dan pemberian pelembab dapat mengurangi rasa tidak nyaman akibat kulit yang kering.

Saat ini vaksinasi COVID-19 menjadi peran penting dalam pencegahan infeksi COVID-19, begitupun pada penderita EB. Vaksinasi sangat dianjurkan untuk pasien dengan semua jenis EB, terutama mereka dengan kerapuhan mukokutan yang parah dan komplikasi sistemik, seperti malnutrisi dan kardiomiopati. Tidak ada bukti bahwa orang dengan EB herediter harus menghindari vaksinasi. Namun, jika diketahui memiliki alergi terhadap salah satu komponen dalam vaksin COVID-19 tertentu maka harus konsultasi ke ahli alergi imunologi sebelum menerima vaksin.

Vaksin COVID-19 telah dievaluasi kepada puluhan ribu peserta uji klinis dan sekarang telah diberikan dengan aman kepada puluhan juta orang di seluruh Dunia, sehingga sudah teruji aman dan efektif. Kemudian dalam hal ini, “vaksin apa pun adalah vaksin yang baik.” Semua vaksin telah terbukti aman dan bekerja dengan baik untuk mencegah penyakit tersebut, termasuk varian yang lebih baru. Setiap negara memiliki kebijakan sendiri untuk memutuskan vaksin mana yang digunakan.

Efek samping yang umum terjadi adalah rasa sakit dan/atau bengkak dari tempat suntikan, demam, menggigil, kelelahan, dan/atau sakit kepala. Hanya sedikit orang yang mengalami reaksi alergi parah (disebut “anafilaksis”) setelah vaksinasi, tetapi ini sangat jarang. Jika ini terjadi, penyedia vaksinasi memiliki obat-obatan untuk mengobati reaksi tersebut (5).

Diperlukan waktu hingga beberapa minggu bagi tubuh untuk membangun perlindungan dari dosis pertama vaksin. Seperti semua obat-obatan, tidak ada vaksin yang 100% efektif sehingga Tindakan pencegahan tetap perlu dilakukan dan direkomendasikan untuk melindungi diri Anda dari tertular COVID-19 dan mencegah penyebaran itu kepada orang lain. Beberapa orang mungkin masih terkena virus meskipun telah divaksinasi, tetapi gejalanya seharusnya tidak terlalu parah (5).

 Silahkan berkonsultasi dengan dokter anda untuk informasi mengenai vaksin COVID-19 atau anda dapat menghubungi email kami untuk keterangan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

  1. World Health Organization. Coronavirus disease. (COVID19) situation report. 2019. Available from https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/situation-reports
  2. Shahidi Dadras M, Namazi N, Nikvar M, et al. Challenges faced by patients with morphea in the era of SARS-CoV-2. J Dermatolog Treat. 2020:1–2. DOI:10.1080/09546634.2020. 1775771
  3. Vahidnezhad H, Youssefian L, Saeidian A H, et al. Phenotypic spectrum of epidermolysis bullosa: the paradigm of syndromic versus non-syndromic skin fragility disorders. J Invest Dermatol. 2019;139(3):522–527.
  4. Moravvej H, Abdollahimajd F, Naseh M MH, et al. Cultured allogeneic fibroblast injection vs. fibroblasts cultured on amniotic membrane scaffold for dystrophic epidermolysis bullosa treatment. Br J Dermatol. 2018; 179(1):72–79.
  5. COVID-19 information booklet: information and recommendations for the EB Community. Available from: https://www.eb-clinet.org/resources/covid19-information-for-the-eb-community/
  6. Centers for Disease Control and Prevention. Handwashing: clean hands save lives. Available from: https://www.cdc.gov/handwashing/index.html
  7. Loden M. The simultaneous penetration of water and sodium lauryl sulfate through isolated human skin. J Soc Cosmet Chem. 1990;41:227–233.
  8. Graham M, Nixon R, Burrell LJ, et al. Low rates of cutaneous adverse reactions to alcohol-based hand hygiene solution during prolonged use in a large teaching hospital. Antimicrob Agents Chemother. 2005;49(10): 4404–4405.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *